Menyandang status sebagai penyandang OYPMK atau orang yang pernah mengalami Kusta ternyata menjadi dilema tersendiri. Pasalnya kata-kata βKustaβ masih memiliki stigma negative di kalangan masyarakat.
Anggapan bahwa kusta itu menular lewat sentuhan tangan dan berbahaya bagi yang berada di dekat penderita, masih dipercaya masyarakat. Akibatnya orang yang mengalami kusta kerap mengalami diskrimasi sosial. Mereka dikucilkan, dijauhkan dari pergaulan dan banyak lagi perlakuan tidak adil yang merugikan para OYPMK.
Mengenal Lebih Dekat OYPMK
Siapa yang tidak mengenal kusta. Penyakit yang kerap diidentikkkan dengan lepra ini menjadi penyakit yang membuat penderitanya dikucilkan. Hal tersebut dikarenakan ciri-ciri kusta nampak aneh karena tidak sama dengan kulit orang kebanyakan.
Ciri β ciri Kusta yang paling terlihat adalah dari kulitnya. Orang kusta memiliki penggelapan pada bagian kulit, sehingga penampilan kulitnya nampak seperti bentol-bentol gelap putih. Penggelapan ini bisa meluas, sehingga penampakannya jadi aneh.
Di Indonesia sendiri, angka kejadian kusta berada di posisi ketiga terbesar di dunia yaitu sebanyak 8%. 9,14% diantaranya dialami oleh anak-anak. (sumber data WHO tahun 2020).
Kusta disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium leprae. Bakteri ini dapat menularkan kusta melalui percikan ludah atau dahak ketika orang yang mengalami kusta sedang batuk atau bersin. Meskipun demikian, bakteri penyebab kusta ini membutuhkan waktu yang lama untuk bisa menular. Jadi jika hanya satu kali terkena percikan cairan dari saluran pernapasan, maka kusta tidak langsung menular.
Kusta juga tidak menular hanya karena bersalaman, duduk bersamaΒ atau bahkan melakukan hubungan badan. Bahkan kusta tidak menular dari ibu ke janinnya.
Kusta dapat disembuhkan. Ini yang perlu dipahami orang lain. Orang yang mengalami kusta juga bisa normal kembali setelah mendapatkan perawatan dan pengobatan yang intenstif. Jadi orang kusta tidak perlu sampai dikucilkan.
Ciri-ciri Kusta
Bagi yang belum mengenal kusta, ada ciri-ciri mendasar yang mudah terlihat dan membedakannya dengan orang normal lainnya.
Ciri-ciri tersebut diantaranya : kulit mati rasa, tidak berkeringat, kulit kaku dan kering, tidak ada rasa perih pada luka di telapak kaki, bengkak dan benjolan di wajah dan juga telinga, serta bercak yang berwarna pucat dan lebih terang daripada kulit di sekitarnya.
Kusta juga menyerang sistem syaraf, sehingga pusat nyeri akan rusak. Akibatnya orang yang mengalami kusta tidak merasakan nyeri ketika mengalami luka.
Ciri-ciri yang terlihat jelas inilah yang menyebabkan kusta menjadi penyakit yang penuh diskrimasi. Orang akan enggan dan takut untuk berdekatan dengan OYPMK dan cenderung mengucilkannya. Bagi OYPMK sendiri, perlakuan diskriminasi tersebut justru berdampak pada psikologis dan rendah diri di tenah masyarakat. Mereka perlu kemerdekaan dan diakui juga sebagai bagian dari masyarakat.
Bicara Tentang Kemerdekaan OYPMK Bersama KBR
Bicara soal OYPMK membuat saya miris. Tidak ada kemerdekaan bagi mereka di negara yang sudah merdeka ini. Masyarakat masih percaya dengan stigma negative yang terlanjur melekat pada penderita kusta.
Ups, penderita kusta.
Dr. Mimi Mariani Lusli dari yang merupakan direktur Mimi Institute menghimbau kepada masyarakat untuk tidak menyebut orang yang mengalami kusta sebagai penderita kusta. Kenapa? Karena mereka sebenarnya tidak menderita.
Penderitaan mereka justru berasal dari sikap masyarakat yang mengucilkan mereka, menjauhi mereka dan memperlakukan mereka dengan buruk. Psikologis mereka yang diserang. Sementara penyakit kusta yang melekat di tubuh mereka sebenarnya bisa disembuhkan.
Lalu julukan apa yang harus diberikan kepada orang yang mengalami kusta ini. Lagi-lagi dokter Mimi Mariani Lusli dalam live streaming bersama ruang publik KBR, menegaskan bahwa OYPMK adalah julukan yang lebih manusiawi bagi mereka yang memang pernah mengalami kusta.
Masyarakat perlu diedukasi lebih dalam lagi tentang bagaimana harus memperlakukan OYPMK ini agar tidak menyakiti psikologis mereka yang berdampak pada rasa percaya diri yang menurun. Jadi ketika ada orang yang sengaja menjauhi OYMPK, jelaskan pada mereka bahwa kusta itu tidak menular. Perlu waktu lama bagi bakteri penyebab kusta untuk berkembang biak dan tidak bisa menular dalam waktu yang singkat.
OYPMK tidak berbahaya dan kita aman untuk berdekatan dengan mereka, salaman, duduk bersama dan melakukan aktivitas bersama. Yakinkan juga bahwa kusta bisa sembuh dan tidak menularkan kepada keturunan.
Saksi nyata dari pernyataan dokter Mimi dalam acara live streaming KBR tersebut adalah mbak Marsinah Dhede atau yang akrab disapa mbak Dhede. Aktivis difabel dan perempuan yang ternyata juga penderita kusta saat usianya masih 13 tahun ini menceritakan kisahnya saat menyadari dirinya mengalami kusta.
Mbak Dhede yang tinggal di desa, tak sengaja mendengarkan ceramah lewat radio yang menginformasikan tentang ciri-ciri kusta. Mbak Dhede kaget karena ciri-ciri yang disebutkan sama dengan yang ada pada tubuhnya. Saat itulah mbak Dhede meminta tolong ibunya untuk diantar periksa ke puskesmas. Kagetlah mbak Dhede, karena dokter di puskesmas menyatakan mbak Dhede mengalami kusta.
Dukungan keluarga menguatkan mbak Dhede, sehingga mbak Dhede masih bisa ceria dan menjalani hari-hari seperti biasanya. Keluarga tetap menyanyanginya dan tidak menjauhinya. Diskriminasi justru dialaminya di lingkungan masyarakat.
Teman-temannya perlahan menjauhinya, bahkan gurunya di sekolah menyuruhnya pulang dan melarangnya masuk lingkungan sekolah karena mbak Dhedhe mengalami kusta. Untung saja ayahnya mbak Dhede membela anak perempuannya dan memperjuangkan haknya untuk diperlakukan sama dengan anak-anak lainnya.
Mbak Dhede sekarang sudah sembuh dari kusta. Ini adalah bukti bahwa kusta memang benar-benar bisa disembuhkan. Lewat live streaming bersama KBR, mbak Dhede memberikan pesan kepada kita semua untuk tidak mendiskriminasikan mereka yang mengalami kusta.
Beban moral yang dialami OYPMK ini berat jika harus dikucilkan masyarakat. Berikan mereka dukungan moril dan dekati. Bahkan jika ada perlombaan agustusan, usahakan untuk mengajak mereka bergabung. Tidak membuat lomba khusus untuk OYPMK. Sikap demikian justru membuat mereka tidak merdeka.
Pengalaman Ikut Live Streaming bersama KBR tentang Kemerdekaan OYPMK
Saya senang sekali bisa mendapatkan kesempatan mengikuti live streaming bersama KBR membahas kemerdekaan bagi OYPMK. Saya mendapatkan pengetahuan baru dan kesadaran baru tentang bagaimana memperlakukan mereka yang mengalami kusta.
Saya mengajukan pertanyaan kepada dokter Mimi dan juga mbak Dhede. Kepada dokter Mimi, saya menanyakan tentang cara mengedukasi masyarakat bahwa rumor tentang kusta itu mitos. Apakah harus dilakukan penyuluhan atau bagaimana?
Untunglah ada peserta lain yang mengajukan pertanyaan serupa dan memberikan jawaban yang pas dengan pertanyaan saya. Menurut dokter Mimi, penyuluhan terus menerus bisa dilakukan untuk memberikan pengetahuan tentang kusta kepada masyarakat. Himbau secara terus menerus bahwa kusta itu tidak berbahaya dan tidak perlu mengucilkan mereka.
Jika dilakukan secara kontinu dan berkesinambungan, masyarakat lama-lama akan paham kok dan akhirnya bisa menerima OYPMK di tengah-tengah masyarakat.
Saya juga menanyakan sesuatu kepada mbak Dhede, perihal kondisi psikologisnya saat mengalami kusta. Pertanyaan saya ini juga terjawab oleh cerita mbak Dhede yang mendapatkan dukungan penuh dari keluarganya, sehingga mbak Dhede tidak terlalu depresi jika di dalam rumah.
Keadaan psikologis mbak Dhede justru menurun saat diluar rumah karena teman dan gurunya yang menjauhi. Namun semuanya bisa teratasi dengan dukungan dan pembelaan penuh dari orang tua mbak Dhede.
Penutup
OYPMK memang memiliki kelainan yang berbeda dengan orang normal lainnya. Ciri yang terlihat jelas ada pada kulit yang timbul bercak. Namun, perlu diingat jika kusta bisa disembuhkan. Jadi sangat tidak adil, jika kita menjauhi dan mendiskriminasi mereka.
Mbak Dhede termasuk OYPMK yang beruntung karena keluarganya sangat mendukung dan tidak mengucilkannya. Tapi di luaran sana, masih banyak OYPMK yang tidak mendapatkan kemerdekaannya dalam bersosialisasi. Di sanalah peran kita sebagai bagian dari masyarakat untuk bisa merangkul mereka.
Dekati, jangan dijauhi. Sementara bagi OYPMK sendiri, jika dijauhi. Maka dekati mereka dan katakan bahwa mereka tidak menularkan penyakit kusta dan bisa sembuh. Edukasi seperti ini mempertegas kita bahwa OYPMK sendiri juga harus bisa speak up tentang kondisi mereka.
Bangun rasa percaya diri bahwa mereka bisa hidup normal dan berbaur dengan orang lain. Kusta bukan penjara kok. OYPMK bisa merdeka dan menjalani hidup bersama teman-teman yang lainnya tanpa perlu didiskriminasi. Yuk kita rangkul bersama para OYPMK agar mereka juga punya rasa percaya diri untuk bangkit dari keterpurukan.
**
Referensi :
live streaming KBR di youtube.